Gladiator Sains: Anaximandros “to Apeiron!” Enam Masa Penciptaan Semesta.

بسم الله الرحمن الرحيم

Pada jaman pra-sokratik di Yunani kuno, sebuah pemikiran terlahir dari seorang filsuf ternama, Anaximandros. Anaximandros merupakan murid dari seorang filsuf terkenal yang bernama Thales. Sang guru Thales merupakan kalangan orang Yunani yang pada waktu itu dikenal sebagai seorang bijaksana. Bahkan Thales dijuluki sebagai salah seorang dari “Hoi Hepta Sophoi” yang berarti tujuh orang bijaksana.


Ilustrasi Bumi. sumber: buktiilmiahalquran.blogspot.co.id



Sang guru Thales memiliki pemikiran dalam pengajarannya bahwa asal mula alam semesta, bumi dan kehidupan ini adalah air. Air yang cair itu adalah pokok dan dasar dari segala-galanya. Segala sesuatu berasal dari air dan kembali menjadi air. Sebagai dasar pemikirannya, Thales memberikan argumen yang rasional, bahwa bakteri-bakteri hidup dan berkembang di tempat yang lembab, bakteri makan sesuatu yang lembab dan kelembaban bersumber dari air. Dari air itu terjadilah tumbuh-tumbuhan dan binatang, bahkan tanah pun mengandung air.

Uniknya sang murid Anaximandros mengkritik pandangan gurunya mengenai air sebagai prinsip dasar (arche) segala sesuatu. Menurut Anaximandros, bila air merupakan prinsip dasar segala sesuatu, maka seharusnya air terdapat di dalam segala sesuatu, dan tidak mungkin ada zat yang berlawanan dengannya. Tetapi bagaimana dengan api?. Air dan api saling berlawanan sehingga air bukanlah zat yang ada di dalam segala sesuatu. Terjadilah dialektika antara sang guru dan sang murid tersebut.


Anaximandros. sumber: twitter.com

Anaximandros tidak merasa puas dengan jawaban dan pengajaran dari sang guru Thales. Anaximandros berfikir tidak mungkin bahwa alam semesta dan bumi terbentuk oleh prinsip dasar tersebut dari zat yang empiris. Prinsip dasar itu haruslah pada sesuatu yang lebih mendalam dan tidak dapat diamati oleh panca indera. Ia harus bersifat ilahiah, abstrak, tak tersentuh, abadi, tidak dapat berubah, dan meliputi segala sesuatu. Anaximandros mengajukan pemikirannya tersebut yang bernama “to Apeiron” (zat yang tak terbatas) sebagai pusat dari segala.

Berbekal pemikiran tentang “to Apeiron” inilah Anaximandros memberanikan untuk merumuskan tentang alam semesta. Menurutnya, terciptanya bumi berasal dari pertarungan unsur-unsur berlawanan di mana yang panas membalut yang dingin sehingga yang dingin itu terkandung di dalamnya. Dari yang dingin itu terjadilah yang cair dan beku. Lalu dari yang beku inilah kemudian menjadi bumi. Api yang membalut yang dingin itu kemudian terpecah-pecah pula. Pecahan-pecahan tersebut berputar-putar kemudian terpisah-pisah sehingga terciptalah matahari, bulan, dan bintang-bintang, kemudian bumi dibalut oleh udara yang basah, dan karena berputar tanpa henti, maka lambat-laun bumi menjadi kering. Sedangkan udara yang basah berubah menjadi lautan yang juga ada di dalam bumi.

“Pemikiran “to Apeiron”, inilah titik awal pergolakan pemikiran yang mulai mempertanyakan hakikat alam semesta dan eksistensi Tuhan. Kesimpulan pemikiran “to Apeiron” bahwa segala sesuatu muncul dari yang tak terbatas. Aristoteles menuliskan bahwa segalanya memiliki asal atau bahkan ialah asalnya. Tapi ketidakterbatasan (Infinity) tidak memiliki asal.”

Bergerak ke masa depan, pemikiran “to Apeiron” memberikan banyak motivasi kepada para ilmuwan untuk mencari tahu bagaimana mekanisme penciptaan alam semesta dan kehidupan di bumi, hingga lahirlah berbagai teori-teori dan model-model mengenai penciptaan alam semesta dan bumi, di antaranya seperti: Teori Kabut (Nebula), Teori Planetisimal, Teori Pasang Surut Gas (Tidal), Teori Bintang Kembar, Teori Big Bang dan lain sebagainya. Teori Big Bang merupakan teori yang diyakini mendekati kebenaran mengenai asal mula alam semesta karena terdapat bukti-bukti ilmiah yang relevan di alam semesta.

Pemikiran “to Apeiron” (zat yang tak terbatas) sebagai pusat dari segala, membuat segala hal tentang penciptaan alam semesta jauh lebih masuk akal. Bahwa alam semesta memiliki permulaan dan diciptakan oleh Zat yang bersifat ilahiah, abstrak, tak tersentuh, abadi, tidak dapat berubah, dan meliputi segala sesuatu.

[alert title="Tulisan lain mengenai Gladiator Sains" icon="info-circle"] [/alert]
Penciptaan alam semesta terjadi dalam enam periode (masa), Dr. Thomas Djamaludin, astronom muslim terkemuka dalam bukunya “Menjelajahi keluasan Langit Menembus Kedalaman Al-Qur’an” menjelaskan mekanisme tersebut di dalam Al-Qu’ran, surat An-Nāzi’āt (27-33):

Apakah kamu lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membinanya (27). Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya (28). dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang (29). Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya (30). Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya (31). Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh (32) (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu (33)

Periode Pertama, (Penciptaan Langit Pertama, Teori Big Bang), An-Nāzi’āt: 27, “Apakah kamu lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membinanya.” Ketika langit diciptakan sama mudahnya bagi Allah dengan menciptakan manusia.  Pada periode pertama, alam semesta pertama kali terbentuk dari ledakan besar “Big Bang”. Big Bang merupakan awal penciptaan ruang, waktu, dan materi. Awan debu (Nebula) terbentuk dari ledakan tersebut, Nebula tersebut terdiri dari atom hidrogen. Awan hidrogen itu berkondensasi sambil berputar dan memadat. Ketika temperatur Nebula mencapai 20 juta derajat celcius, mulailah terjadi reaksi nuklir yang membentuk Helium. Reaksi nuklir inilah yang menjadi sumber energi bintang. Selanjutnya, angin bintang menyembur dari kedua kutub Nebula, menyebar dan menghilangkan debu yang mengelilinginya. Sehingga, Nebula yang tersisa berupa piringan, yang kemudian membentuk galaksi. Nebula dalam Al-Qur’an disebut dengan “Dukhan”.

Periode Kedua, (Pengembangan dan Penyempurnaan, Teori Osilasi), An-Nāzi’āt: 28, “Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya.” Kata “meninggikan bangunan” dan “menyempurnakan”. Kata “meninggikan bangunan” merupakan analogi bahwa alam semesta melakukan ekspansi dan kontraksi, galaksi-galaksi saling menjauh dan langit alam semesta terlihat makin tinggi (meluas). Mengembangnya alam semesta sebenarnya adalah kelanjutan big bang. Hal ini sesuai dengan isi teori Osilasi.  Sedangkan kata ”menyempurnakan”, menunjukkan bahwa alam ini tidak serta merta terbentuk, melainkan dalam proses yang terus berlangsung, sebagaimana bayi dalam kandungan. Alam semesta ini terus melakukan ekspansi dan kontraksi.


Galaksi Bima Sakti. sumber: misykatulanwar.files.wordpress.com

Periode Ketiga, (Pembentukan Tata Surya serta Bumi), An-Nāzi’āt: 29, “dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang”. Allah menjadikan malam yang gelap gulita dan siang yang terang benderang. Ayat tersebut ditafsirkan sebagai penciptaan matahari sebagai sumber cahaya dan Bumi yang berotasi, sehingga terjadi siang dan malam.

Periode Keempat, (Perkembangan daratan, Evolusi Bumi), An-Nāzi’āt: 30, “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.” Dihamparkan merujuk kepada pembentukan superkontinen Pangaea di permukaan Bumi yang terhampar luas. Namun dihamparkan saja belum cukup. Oleh karena itu Allah mendatangkan air ke bumi di periode kelima.

Periode Kelima, (Datangnya Air ke Bumi), An-Nāzi’āt: 31, “Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.” Air diperkirakan berasal dari komet yang menumbuk Bumi ketika atmosfer Bumi masih sangat tipis. Unsur hidrogen yang dibawa komet kemudian bereaksi dengan unsur-unsur di Bumi dan membentuk uap air. Uap air ini kemudian turun sebagai hujan yang pertama. Bukti bahwa air berasal dari komet, adalah rasio Deuterium dan Hidrogen pada air laut, yang sama dengan rasio pada komet. Deuterium adalah unsur Hidrogen yang massanya lebih berat daripada Hidrogen pada umumnya. Karena semua kehidupan berasal dari air, maka setelah air terbentuk, kehidupan pertama berupa tumbuhan bersel satu pun mulai muncul di dalam air.

Periode Keenam, (Proses Geologis, Lahirnya Hewan dan Manusia), An-Nāzi’āt: 32-33, “Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” Gunung-gunung terbentuk dari interaksi antar lempeng ketika superkontinen Pangaea mulai terpecah. Kemudian, setelah gunung mulai terbentuk, terciptalah hewan dan akhirnya manusia sebagaimana dalam suatu.

Seperti itulah Al-Quran menjelaskan tahapan mengenai penciptaan alam semesta, yang semuanya sejalan dengan ilmu pengetahuan modern. Pemahaman “to Apeiron” (zat yang tak terbatas) oleh Anaximandros, akan lebih logis bila ditempatkan Tuhan ke dalam pengertian zat tersebut.

Sekian dulu dari tulisan ini InsyaAllah bersambung, Semoga Bermanfaat.


[tab] [content title="Tentang Penulis"] Hasya Syarif
Writer Semoga Bermanfaat [/content] [/tab]

No comments:

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas