Review: Propethic Leadership, Peradaban, Perubahan, dan Kepemimpinan

بسم الله الرحمن الرحيم

Allah telah mengirim kami untuk mengeluarkan siapa yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada hamba menjadi peghambaan kepada Allah, dari penyimpangan agama-agama yang ada menuju keadilan Islam. -Rubai bin Amir kepada Panglima Persia, Rustum- 

Hari-hari ini masalah kepemimpinan menjadi suatu soalan yang penting. Pemimpin dengan kepemimpinannya akan berimplikasi pada apa dan siapa yang dipimpinnya. Pemimpin dengan kepemimpinan yang baik, akan melahirkan perilaku, kebijakan yang baik pula, begitu sebaliknya. 

Teori mengenai kepemimpinan tentu telah banyak dibahas oleh banyak orang. Ada yang membahas mengenai level kepemimpinan a la John C. Maxwell, ada pula yang menjabarkan kepemimpinan dengan melihat pemimpin-pemimpin terdahulu, termasuk kepemimpinan para founding fathers bangsa ini.

Umat Islam yang kini bisa dikatakan agak tercerai-berai dan tak bersatu, tentunya merindukan akan suatu zaman di mana umat Islam bersatu padu dan menjadi suatu kekuatan yang besar namun tetap berasaskan nilai-nilai Ilahiyah. Namun tentunya kita tidak boleh terjebak pada nostalgia kegemilangan generasi awal Islam, terhitung sejak zaman Nubuwwah (kenabian), zaman Khulafa ar-Rasyidin hingga berlanjut ke dinasti-dinasti setelahnya dan berakhir dengan keruntuhan Dinasti Turki Utsmani.

Umat ini tentunya merindukan pemimpin yang dapat membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi mereka yang dipimpinnya. Padahal, telah Allah turunkan sebaik-baik manusia sekaligus pemimpin yang ada pada diri Rasulullah Muhammad Shalallahu'alaihi wa salam. Pun dengan Alquran sebagai pedoman yang sebagian besar isinya berisi kisah-kisah umat terdahulu termasuk perjuangan serta kepemimpinan para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad. Belajar dari kepimimpinan para nabi dan rasul dapat menjadi sebuah upaya untuk melihat bagaimana para nabi dan rasul melakukan dakwahnya serta memimpin kaumnya dengan berbagai kejadian yang dihadapinya. Pertanyaannya, bagaimankah kepemimpinan para nabi dan rasul itu? Apa yang dapat dipelajari dari mereka?

Nampaknya, hal ini dapat kita pelajari salah satunya dari buku karya Bachtiar Firdaus -yang karib disapa Bang Bach- yang berjudul Propethic Leadership. Buku yang diterbitkan oleh Pustaka Saga ini menjabarkan mengenai apa dan bagaimana Kepemimpinan Profetik.


Buku Propethic Leadership


Apa itu Kepemimpinan Profetik? Merujuk ulasan beliau, kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menjadi penghambaan hanya pada Allah semata. Kepemimpinan ini bisa dipelajari dari kepemimpinan para nabi dan rasul yang telah termaktub dalam Alquran. 

Istilah ini -sebagaimana disebutkan Bang Bach- dikutip dari Kuntowijoyo yang menjabarkannya melalui pemahaman atas ayat ke-110 di surah Ali Imran. Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan dengan tiga misi, yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi. 

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik." -Q.S. Ali Imran: 110-

Misi humanisasi yakni "Ta'muruna bil ma'ruf (menyuruh kepada yang ma'ruf)" adalah misi memanusiakan manusia, mengangkat harkat martabat manusia. Sementara misi liberasi yakni "Tanhauna 'anil munkar (mencegah dari yang munkar)" adalah misi untuk membebaskan manusia dari keterpurukan, belenggu, serta ketertindasan. Misi transendensi yakni "Tu'minuuna billah (beriman kepada Allah)" menjadi manifestasi dari misi humanisasi dan liberasi, yakni kesadaran ilahiyyah yang mampu menggerakkan hati dan bersikap ikhlas atas apa yang dilakukan.

Menurut Bang Bach, kepemimpinan profetik memiliki lima unsur:
  1. Kepemimpinan yang berilmu.
  2. Kepemimpinan yang kuat.
  3. Kepemimpinan yang amanah.
  4. Kepemimpinan yang regeneratif.
  5. Kepemimpinan yang bertaqwa.
Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang berilmu, sebagaimana Adam 'alaihissalam diberi ilmu pengetahuan saat setelah ia diciptakan. Kepemimpinan yang berilmu berarti pemimpin yang cakap dan terampil dengan urusannya, dengan jabatannya sebagai seorang pemimpin. Diriwayatkan oleh Bukhari, bahwasanya Rasulullah bersabda apabila suatu urusan diserahkan kepada mereka yang bukan ahlinya (tidak memiliki kapasitas untuk mengembannya), maka tunggulah saat-saat kehancurannya. Pun seperti yang dikatakan Imam Syafi'i bahwasanya mereka yang hendak meraih dunia, hendaklah dengan ilmu, mereka yang hendak meraih akhirat, pun dengan ilmu, dan mereka yang menginginkan keduanya, maka raihlah degan ilmu.

Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang kuat, karena amanah sebagai pemimpin ini membutuhkan mereka yang kuat dan bukan yang lemah. Abu Dzar radiyallahu'anhu pernah meminta suatu jabatan kepada Rasulullah, akan tetapi Rasulullah menolaknya seraya menyebut bahwa Abu Dzar adalah seorang yang lemah, sementara mereka yang menjadi pemimpin haruslah mereka yang kuat. Karena jabatan sebagai pemimpin akan menjadi suatu penyesalan bagi mereka yang ternyata tidak dapat menanggungnya.

Kepemimpinan profetik adalah kepemimpnan yang amanah, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Beliau mencontohkan, meneladankan akan kepribadiannya yang amanah, yakni kepribadian yang kredibel dan berintegritas tinggi. Hal ini mengantarkan beliau mendapat sebutan al-Amin (Yang Terpercaya) dari suku Quraisy bahkan sebelum beliau diangkat oleh Allah sebagain Nabi dan Rasul terakhir. Prinsip amanah menurut Bang Bach yakni (1) amanah yang berasal dari Allah dan Rasulnya berupa kewajiban mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta (2) amanah yang berasal dari manusia, yakni amanah untuk mengurus, mengatur, memelihara, dan melaksanakan kewajiban itu secara baik dan benar.

Kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang regeneratif, yakni kepemimpinan yang melahirkan dan mewariskan penerus untuk generasi seterusnya. Para pemimpin dengan kepemimpinan profetik adalah mereka yang menyiapkan pemimpin dan generasi selanjutnya secara rapi, terstruktur, dan menjadi bagian dari rencana besar pembentuk peradaban. Maka, kepemimpinan yang regeneratif ini menciptakan pemimpin selanjutnya yang dilakukan "by design notby accident."

Kepemimpinan yang profetik adalah kepemimpinan yang betaqwa, karena taqwa adalah kunci dari unsur-unsur sebelumnya. Ketaqwaan adalah karakteristik penitng yang harus dimiliki seorang pemimpin. Pemimpin yang bertaqwa akan bersungguh-sungguh menjalankan amanahnya denan mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Pemimpin yang bertaqwa tentunya adalah seorang yang jujur dan amanah, yang dengannya ia akan memberikan yang terbaik bagi mereka yang dipimpinnya. 

Maka lima unsur ini dan tiga misi yang telah disebutkan di awal menjadi inti dari kepemimpinan profetik. 

***

Adapun buku Propethic Leadership ini disusun begitu terstruktur sehingga dengan jelas menerangkan maksud kepemimpinan profetik, mengapa kepemimpinan profetik diperlukan, dan contoh-contoh kepemimpinan profetik.

Buku ini diawali dengan membahas apa itu peradaban. Hal ini sangat penting dibahas karena hadirnya seorang pemimpin dengan kepemimpinannya adalah untuk membangun dan memimpin suatu peradaban. Pemimpin dengan kepemimpinannya diharapkan mampu untuk membawa peradabannya pada keadaan yang lebih baik. Disebutkan di bagian awal ini mengenai apa itu peradaban, lalu dijelaskan pula mengenai peradaban Islam, idealnya peradaban Islam. Dibahas pula mengenai tahapan peradaban Islam, yakni dari tahapan awal pada masa Rasulullah periode Mekkah, dilanjutkan tahapan kedua yakni periode Madinah hingga masa Khulafa ar-Rasyidin. Lalu dilanjutkan dengan tahapan akhir yakni periode setelah Khulafa ar-Rasyidin.

Selanjutnya, beliau membahas mengenai keniscayaan perubahan. Bahwasanya segala hal ini berubah dengan tetap berpegang pada sunatullah. Perubahan pada suatu masyarakat akan terjadi apabila masyarakat tersebut berusaha untuk melakukan perubahan, dengan tetap memperhatikan bahwa Allah-lah yang menjadi faktor penentu (determinan) akan perubahan tersebut. 

Dalam melakukan perubahan saat membangun Yatsrib (yang menjadi Madinah), Rasulullah melakukan empat hal, yakni pertama menyatukan visi dan orientasi hidup yang dilakuakan membangun masjid. Masjid saat itu tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah ritual mahdhah (seperti shalat, membaca Alquran, dsb.) namun menjadi tempat aktivitas umat, maka di masjid lah terdapat majelis-majelis ilmu, pun di masjid pula ditentukan keputusan-keputusan penting Madinah. Kedua, Rasulullah membangun semangat persatuan dan solidaritas dengan mempersaudarakan umat Islam, disebutkan bahwa Rasulullah mempersaudarakan antara Muhajirin (kaum yang berhijrah bersama Rasulullah dari Mekkah ke Madinah) dan Anshar (penduduk asli Yatsrib / Madinah). Hal ini menunjukkan persaudaraan yang dibangun atas kesamaan aqidah, yakni Islam, bukan berdasarkan golongan atau suku.

Hal ketiga adalah dengan membangun kemandirian ekonomi, yakni membangun pasar Muslim yang mandiri dari pasar Yahudi. Aturan Islam yang adil dalam dalam hal ekonomi lebih baik dari pasar Yahudi yang terdapat unsur riba. Kemandirian ekonomi ditunjang pula oleh sebagian sahabat yang terampil dengan persoalan ekonomi yang juga wirausahawan, sebut saja Utsman bin 'Affan dan 'Abdurrahman bin 'Auf sebagai sedikit di antaranya.

Hal keempat adlaah dengan membangun kedaulatan politik umat, yakni dengan dibuatnya Piagam Madinah yang menyatukan penduduk Madinah dengan otoritas kepemimpinan ada pada Rasulullah. Piagam Madinah menjadi kontrak sosial antar penduduk Madinah dengan di dalamnya terdapat pemeluk agama lain.

Empat hal ini dilakukan Rasulullah dan menjadikan Madinah sebagai suatu negara kota yang begitu kuat, besar dan mandiri. Diawali dari hal ini dan berlanjut hingga ajaran Islam menyebar ke seluruh dunia.


Selanjutnya yang dibahas dalam buku ini adalah mengenai titik tolak perubahan, bahwasanya perubahan dimulai dengan merekontruksi atau membangun kembali manusia (self-reconstruction), yang dilandasi kesadaran diri (self-awareness) yang ditopang oleh kemampuan diri (self-capability) yang memadai. Maka titik tolak perubahan bergantung pada manusia itu sendiri dengan tetap mengingat bahwa Allah-lah sebagai faktor penentu dalam perubahan.

Pembahasan selanjutnya adalah mengenai kepemimpinan profetik yang pokok-pokoknya telah diulas dalam pertengahan tulisan ini. Pembahasan beliau di buku Propethic Leadership lalu ditutup dengan mengulas kepemimpinan profetik dalam Alquran, Beliau mengulas kepemimpinan Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi Yunus, kepemimpinan Thalut (salah satu pemimpin Bani Israil), kepemimpinan Nabi Dawud, yang ditutup dengan pengajaran Khaidir pada Nabi Musa.


***

Secara garis besar, buku Propethic Leadership membahas dengan terstruktur mengenai kepemimpinan profetik, Keterstrukturan ini dapat membuat pemahaman pembaca akan apa itu kepemimpinan profetik, unsurnya, contohnya hingga urgensinya dapat dipahami dengan baik. 

Kepemimpinan Profetik dapat menjadi teori kepemimpinan lainnya dari teori-teori yang telah ada. Keunggulan kepemimpinan profetik tentu saja ada pada nilai-nilainya yang diurai dari kepemimpinan para nabi yang berasaskan nilai-nilai Illahi sebagai sumber kebenaran.

No comments:

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas