Melangkah Menuju Mimbar

بسم الله الرحمن الرحيم

Beberapa hari jelang Ramadhan, Bapa saya berkata pada saya (kurang lebih seperti ini), "Man, engke subuh ngeusi ceramahnya." (Man, nanti subuh ngisi ceramah ya), dan seketika langsung saya iyakan. Jadilah lalu beberapa hari kemudian, di awal Ramadhan, jadwal untuk mengisi ceramah subuh pun tiba, 18 Ramadhan

Sejak dua atau tiga tahun yang lalu, saya selalu ditawari oleh Bapa untuk mengisi ceramah subuh kala Ramadhan. Setelah beberapa tahun yang lalu, kakak saya yang pertama menjadi penceramah saat Ramadhan (tahun ini bahkan juga menjadi penceramah Taraweh), maka tahun ini menjadi giliran saya untuk melangkah menuju mimbar, berbagi apa yang saya dapatkan.

Dua atau tiga tahun tahun yang lalu, selalu saya tolak tawaran untuk menjadi penceramah subuh. Tentunya karena merasa belum siap dan juga belum pantas, belum pantas dan siap secara mental, bukan secara ilmu, karena tentu ilmu yang didapatkan ini belum lah sebanding dengan para ayahanda dan sepuh jamaah masjid di RW kami. Tahun lalu saya berjanji untuk mengiyakan tawaran menjadi penceramah pada tahun ini, karenanya tentu saya tidak bisa menolak dan langsung mengiyakan pada tahun ini.

Yah, dasar, karena memang masih terbiasa untuk menunda beberapa hal, hingga sampai beberapa hari jelang 18 Ramadhan pun saya masih kebingungan materi apa yang akan disampaikan. Begitu terus hingga bahkan sampai malam hari sebelum subuh di 18 Ramadhan. Sempat terpikir untuk berbagi mengenai  Lailatul Qadr yang berada di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka saya langsung mencoba mencari di beberapa buku di rumah mengenai itu. Tentu ditemukan beberapa bahan yang bisa diolah, namun karena tak begitu sesuai dengan yang biasa saya sampaikan, maka saya tak puas bila berbagi materi mengenai Lailatul Qadr.

Hingga akhirnya, karena badan cukup lemas sehabis latihan Taekwondo sore hari, saya pun tertidur (atau sengaja tidur :D), padahal tak sebaris pun terpikirkan apa yang akan disampaikan esok subuh.

Lalu...
Tepat pukul 2 dini hari saya terbangun, itu berarti saya punya waktu selama 2 jam sampai saya santap sahur dan 2 jam 39 menit hingga adzan subuh berkumandang di Bandung. Saya lalu kembali menyalakan laptop, dan dengan kepala serta badan yang sudah lebih segar saya mencoba kembali mencari materi apa yang akan disampaikan.Saya lalu mengambil beberapa buku di ruang sebelah kamar saya, lima buku yang saya ambil, dua mengenai Ramadhan, dan tiga buku karya Salim A. Fillah (Dalam Dekapan Ukhuwah, Menyimak Kicau Merajut Makna, Lapis-lapis Keberkahan), berharap ada yang bisa saya ambil. Namun hasilnya nihil. Jam saat itu menunjukkan sekitar pukul 2.30 atau 2.40, dan saya masih belum terpikir apa yang akan disampaikan.

Hingga pada akhirnya pertolongan itu datang...

Saya teringat akan apa yang saya sampaikan saat menjadi pembina apel pagi di PPSDMS Bandung beberapa bulan yang lalu, saat itu yang saya sampaikan adalah mengenai teladan Rasulullah pada saat Perang Khandaq. Seketika, saya lalu mengingat, serta mencari lagi mengenai hal tersebut.
Lagi-lagi pertolongan itu datang, saya teringat pernah menulis mengenai Perang Khandaq dan Semangat Optimisme (tulisannya ada di blog ini, bisa dilihat di sini). Lalu saya pun langsung menyalin tulisan tersebut ke dalam Word. Tak cukup sampai di situ, saya pun kembali mengambil buku Mas Salim, yakni Jalan Cinta Para Pejuang, meski tak sempat saya buka (cuma diambil doang, kaga dibuka). Pada akhirnya tulisan itu pun saya tambahi dengan tulisan Mas Salim berjudul Yang Lebih Menakjubkan dari Mukjizat yang dimuat juga di bukunya. 

Alhamdulillah...
Maka jadilah ini yang akan saya sampaikan pada subuh itu. Jam menunjukkan pukul 4.00, lalu saya simpan file tersebut ke dropbox, agar bisa dibuka di smartphone saya. Lepas itu, saya pergi ke bawah untuk bersiap santap sahur.


***

Biasanya, selepas sahur dan menggosok gigi, saya bersantai, merebah badan sambil membuka game atau sekedar membuka sosial media, namun tidak dengan subuh itu. Rasa sedikit tegang pun muncul. Memang, ini bukan yang pertama bagi saya untuk berbicara di depan umum, ataupun di atas mimbar, namun kali ini berbeda. Saya cukup terbiasa berbicara di depan umu dengan hadirinnya adalah teman-teman sesama mahasiswa atau adik-adik di SMA atau SMP. Pernah juga memang beberapa kali berdiri di atas mimbar untuk menyampaikan khutbah jumat pada saat SMA, namun jamaahnya saat itu adalah beberapa guru dan sekian banyak siswa lain, hingga ketegangannya pun berbeda. Hadirin yang saya hadapi kali ini adalah keluarga saya sendiri (Bapa, Ibu, dan kakak saya) dan jamaah masjid yang rata-rata adalah bapak-bapak dan ibu-ibu. 

Kali itu pun berbeda, saya berangkat ke masjid bersama Bapa saya (biasanya sendiri-sendiri) dan seperti yang diharapkan, Bapa pun menyampaikan satu tips, yakni untuk mengalihkan perhatian hadirin agar tepat pada kita. Selain itu seperti biasa Bapa mengatakan, "Sok, sing tenang."
Maka saat itu saya berangkat dengan bersarung di bagian bawah, dan menggunakan jaket kebangsaan PPSDMS, ceritanya agar lebih percaya diri dan sekalian promosi PPSDMS.


Di Mimbar

Dan sungguh, subuh berjamaah di mesjid saat itu menjadi subuh berjamaah saya yang paling tidak tenang, karena masih ada ketegangan. Saya berada di shaf pertama tepat di belakang imam dan dipinggir Bapa. Lepas shalat subuh, lalu diteruskan dengan berdzikir bersama, hingga akhirnya tiba saya harus berdiri di mimbar...

Maka, melangkahlah saya menuju mimbar...
Hal pertama yang dilakukan adalah membuka hp -tentu dengan mode silent dan paket data nonaktif- dan membuka file yang telah disimpan.
Bismillah... mulailah saya menyampaikan ceramah subuh dengan salam..
Saya perhatikan beberapa hadirin di sana, ada bapak-bapak, ibu-ibu, serta beberapa remaja dan anak-anak yang sebagian dari panti asuhan di RW kami. 
Di luar dugaan, ketegangan saya sirna dan alhamdulillah bisa menyampaikan materi tersebut dengan cukup lancar, meski penutupnya yang kurang pas.
Baru saya sadari saat menyampaikan di atas mimbar, bahwa apa yang disampaikan itu tidak fokus:
diawali dengan Q.S. Al-Ahzab ayat 21 -tentang Rasulullah sebagai teladan- lalu melompat ke Perang Ahzab / Khandaq, kisah mukjizat makanan yang mencukupi 3000 penggali parit (disadur dari tulisan Salim A. Fillah), lalu diakhir dengan tulisan saya mengenai Khandaq dan Semangat Optimisme
Tapi saya cukup puas, karena Allah tidak mengagapkan lisan saya saat itu. :D

Lepas ceramah, seperti biasa jamaah saling bersalaman, hingga ada beberapa bapak-bapak yang mengucapkan, "hatur nuhun," padahal biasanya jika bersalaman yaaa bersalaman saja. :D

Alhamdulillah, pengalaman perdana untuk berdiri di mimbar tersebut.

Tentu ini merupakan hal yang kecil dan barangkali remeh bagi sebagian orang, namun bagi saya ini adalah suatu pengalaman yang mengesankan karena untuk pertama kalinya berbicara seperti itu dengan disaksikan oleh keluarga.
Hal yang kecil dan sederhana, harapannya tentu apa yang disampaikan adalah hal yang benar dan bermanfaat bagi jamaah.

Alhamdulillah.. begitulah..
Melangkah menuju mimbar..

Wallahu'alam.

1 comment:

  1. Luar biasa kawan, doakan saya juga ya agar suatu saat bisa menginspirasi banyak orang seperti agan

    ReplyDelete

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas