Sangat ironis memang, melihat budaya korupsi begitu besarnya menghinggapi negeri Indonesia ini. Padahal Indonesia adalah negeri dengan penganut muslim terbesar di dunia, namun sayang mental masyarakat muslimnya justru terjerumus terhadap perilaku yang justru menghancurkan reputasi pribadi dan negerinya sendiri.
Islam dan agama mana pun tak sedikit pun mengajarkan perilaku korupsi. Islam adalah bagian dari system yang rahmatan lil alamin yang teruji di setiap zaman. Namun, sayang perilaku mental buruk manusia Islam yang tidak berlandaskan asas Islam itu sendiri yang akhirnya menjerumuskan manusianya ke ambang kemerosotan moral dan kehinaan melalui tindak pidana korupsi. Kita bisa melihat bagaimana negara dengan mayoritas muslim seperti Indonesia, Bangladesh, Pakistan, Iraq memiliki tingkat korupsi yang tinggi menurut Global Corruption Index dan Tranparancy Internasional Index rata-rata di atas tujuh (limit 1-10). Walaupun kita tidak bisa kemudian mengaitkan bahwa korupsi identik dengan agama tertentu, tetapi korupsi dapat teratasi melalui mental masing-masing individu sebuah masyarakat dan tatanan hukum yang jelas dan tegas, yang diiringi penegakan hukum berat terhadap para koruptor. Dan Islam memiliki nilai-nilai itu semua, sehingga pada dasarnya ketika manusia muslim mampu mempraktekkan nilai-nilai ajaran agamanya, maka secara tidak langsung seorang muslim mampu mencegah dirinya dari kecurangan perbuatan dan perilaku korupsi yang merugikan banyak pihak.
Budaya korupsi ini sudah terjadi sepanjang peradaban umat manusia. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa korupsi merupakan fenomena kebudayaan manusia yang cukup tua. Barang kali hampir sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Paling tidak dapat diperkirakan bahwa fenomena korupsi sudah muncul dalam sejarah peradaban manusia, sejak manusia itu mengenal sistem hidup bersama yang terorganisir.
Dalam sejarah Islam, praktik korupsi juga telah ditemukan sejak periode yang relatif dini, setidaknya beberapa kitab Hadis menyebutkan antara lain; Sunnan at-Tirmidzi, Sunnan Abi Daud, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Kabir, Tafsir at-Tabari, Asbab an-Nuzul dari al-Wahidi dan Musntad Imam Ahmad. Sebagaimana diketahui masyarakat Islam di zaman Nabi saw.. khususnya pada periode Madinah, telah menjadi suatu masyarakat yang terorganisir secara rapi, bahkan dinyatakan bahwa Madinah sendiri merupakan sebuah Negara kota yang dilengkapi dengan sebuah konstitusi, yang belakangan dikenal dengan Konstitusi Madinah. Itu berarti di sana telah terdapat suatu struktur kekuasaan dan adanya kekayaan publik untuk mengelola dan mengenai kepentingan penyelenggaraan kekuasaan itu. Dengan demikian, dapatlah dibuat suatu hipotesis bahwa dalam masyarakat tersebut tentu ada korupsi dalam bentuk tertentu, walaupun hanya kecil.
Bilamana kita mempelajari rekaman-rekaman yang mencatat sejarah Islam awal, kita melihat bahwa isu korupsi muncul pada periode Madinah awal. Dalam hal ini, ditemukan sebuah riwayat bahwa dalam Perang badar tahun 2 H. terjadi korupsi, yaitu raibnya sehelai beludru merah rampasan Perang yang diperoleh dari kaum Musyrikin. Tetapi ada pula riwayat yang menerangkan bahwa yang hilang itu adalah pedang. Laporan mengenai hilangnya beludru merah dalam Perang Badar ini ditemukan dalam beberapa sumber orisinil berikut: Sunnan at-Tirmidzi, Sunnan Abi Daud, Musnad Abi Ya’la, al-Mu’jam al-Kabir, Tafsir at-Tabari, Asbab an-Nuzul dari al-Wahidi. Dalam Sunnan al-Tirmidzi ditegaskan:
”Telah menyampaikan kepada kami Qutaibah: telah menyampaikan kepada kami Abdul Wahid Ibn Ziyad dari Khusaif (dilaporkan bahwa ia berkata): Miqsan telah menyampaikan kepada kami seraya berkata: Ibnu Abbas mengatakan: Ayat ini ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ turun mengenai kasus beludru merah yang hilang pada waktu Perang Badar. Beberapa orang mengatakan: Barangkali Rasulullah SAW. mengambilnya, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala menurunkan ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ hingga akhir ayat (HR. Tirmidzi).” maksud ayat ‘wa ma kana li nabiyyin an yagulla’ (‘Tiada seorang Nabi akan melakukan gulul [korupsi]”)
Peristiwa hilangnya beludru merah seperti tersebut dalam sumber di atas dinyatakan sebagai sebab turunnya ayat 161 Ali-Imran :
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (Al-Imran: 161)
Penolakan tegas pada ayat ini yang menyatakan bahwa Nabi tidak mungkin berkhianat dan tidak mungkin Nabi SAW melakukan tindak korupsi datang langsung dari Allah. Penegasan ini menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa sedangkan Rosulullah adalah seorang yang paling mulia, memiliki tabiat yang amanah, adil dan selalu menjaga diri dari hal-hal yang tidak pantas, maka tidak mungkin pribadi yang agung itu melakukan tindakan yang sangat buruk dan memalukan.
Imam Ar-Razi, setelah beliau menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya, ia mengatakan: “Sesungguhnya tindak khianat ini haram hukumnya bagi siapa saja.” Pengkhususan penolakan terhadap pribadi Rosulullah mempunyai faedah, yaitu jika seorang yang melakukan perbuatan ini adalah orang yang mulia, maka berlaku khianat adalah sesuatu yang sangat buruk bagi dirinya.”
Kemudian Allah mengancam siapa saja yang melakukan tindak kriminal ini dengan pembalasan yang setimpal: “kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal”.
Rosulullah bersabda:
Rosulullah bersabda: “Hai manusia, barang siapa yang mejalankan tugas untuk kami, lalu dia menyembunyikan dari kami barang sekecil jarum atau lebih, maka apa yang disembunyikannya itu adalah kecurangan (korupsi) yang kelak akan dibawa pada hari kiamat.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Korupsi dalam Perang Khaibar
Khaibar, sebuah perkampungan Yahudi yang ditaklukkan oleh Rasulullah SAW. pada tahun 6 H. di sini kita menemukan bentuk korupsi yang riil, meskipun jumlahnya kecil. Ada dua kasus korupsi di Khaibar yang dilaporkan dalam beberapa kitab Hadis. Pertama, peristiwa kematian seorang laki-laki yang melakukan korupsi (gulul) di Khaibar pada waktu penaklukan daerah tersebut, dan kedua, kasus kematian seorang budak bernama Mid’am yang juga melakukan korupsi dan kasus korupsi tali sepatu. Kasus pertama dilaporkan dalam beberapa Hadis di antaranya adalah versi Ahmad Ibn Hambal sebagai berikut:
Yahya Ibn Sa’id telah menyampaikan kepada kami dari Yahya Ibn Sa’id Ibn Hayyan, dari Muhammas Ibn Yahya, dari Abi ‘Amrah, dari Zaid Ibn Khalid al-Juhani bahwa seorang sahabat Nabi dari meninggal pada waktu penaklukan Khaibar, maka para sahabat melaporkan hal itu kepada Nabi SAW.. Lalu beliau bersabda: “Salatkanlah kawanmu itu”, maka berubahlah raut wajah orag-orang karena sabda itu.dan Nabi bersabda: “Rekanmu itu telah melakukan gulul dalam Perang”. Maka kamipun memeriksa barang-barangnya, lalu kami temukan manik-manik orang Yahudi yang harganya tidak mencapai dua dirham (HR. Ahmad)
Hadis ini merekam sebuah kasus korupsi kecil yang dilakukan oleh salah seorang sahabat yang ikut dalam penaklukan Khaibar. Tidak ada catatan tentang nama orang tersebut. Hanya saja dalam beberapa versi dari Hadis bersangkutan disebutkan bahwa ia berasal dari Bani ‘Asyja’. Dalam kasus ini korupsi diberi hukuman moral, yaitu Rasulullah saw.. tidak ikut menyalatkan jenazahnya; beliau menyuruh sahabatnya saja yang menyalatkannya.
Kasus kedua, dari korupsi di Khaibar adalah korupsi mantel dan korupsi tali sepatu. Korupsi mantel dilakukan oleh Mi’dam, seorang budak yang mengikuti perjalanan Nabi saw. ke Wadi al-Qura beberapa waktu setelah penaklukan Khaibar. Ia terkena tembakan anak panah misterius di Wadi al-Qura, ketika hendak menurunkan barang-barang bawaan Rasulullah dari untanya sehingga meninggal dunia. Para sahabat yang melihat kejadian itu mengatakan ‘semoga ia masuk surga.’ Namun Nabi SAW. menyanggah dan menerangkan, bahwa ia pernah melakukan korupsi mantel pada waktu penaklukan Khaibar dan mantel yang dikorupsi itu akan membakarnya di neraka kelak. Korupsi tali sepatu pada waktu penaklukan Khaibar dilakukan oleh salah seorang yang ikut dalam perjalanan ke Wadi al-Qura tersebut. Identitasnya secara lebih jelas tidak ada informasinya. Ketika mendengar pernyataan Rasulullah saw. mengenai mantel yang dikorupsi oleh Mi’dam dapat menjadi penyebab ia masuk neraka, lelaki itu buru-buru memberikan tali pengikat sepatu yang dikorupsinya pada waktu penaklukan Khaibar kepada Rasulullah saw. Teks Hadis tersebut dalam Shahih Bukhari adalah sebagai berikut:
Ismail telah menyampaikan kepada kami, ia berkata Malik telah menyampaikan kepadaku, dari Saur Ibn Zaid ad-Dili, dari Abi al-Ghais bekas budak Ibn Muti’, dari Abu Hurairah (bahwa) ia berkataa: Kami keluar bersama Rasulullah SAW. pada waktu penaklukan Khaibar, kami tidak memperoleh rampasan Perang berupa emas dan peran, yang kami peroleh adalah benda tak bergerak, pakaian dan barang-barang dan seorang lelaki dari Bani ad-Dubaib bernama Rifa’ah Ibn Zaid menghadiahi Rasulullah SAW. seorang budak bernama Mi’dam. Rasulullah SAW. berangkat menuju Wadi al-Qura, sehingga ketika ia sampai ke Wadi al-Qura itu pada saat Mi’dam emnurunkan barang-barang bawaan Rasulullah SAW. tiba-tiba sebuah panah misterius (mengenai Mi’dam) dan menyebabkan ia meninggal. Maka orang-orang (yang melihat) mengatakan: Semoga ia masuk sorga. Maka Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak! Demi Tuhan yang diriku berada di tangannya, sesungguhnya mantel yang diambilnya pada waktu penaklukan Khaibar dari rampasan Perang yang belum dibagi akan menyulut api neraka yang akan membakarnya.” Ketika orang-orang mendengar pernyataan Rasulullah itu, seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. membawa seutas tali sepatu atau dua utas tali sepatu (keraguan dari rawi). Nabi SAW. lalu mengatakan: seutas tali sekalipun akan menjadi api neraka atau dua utas talipun akan menjadi api neraka (seandainya tidak dikembalikan). (HR. Bukhari)
Dalam Hadis ini, seperti disinggung terdahulu, terdapat korupsi yang jumlahnya kecil; mantel dan tali sepatu. Namun para ahli Hadis menegaskan bahwa Hadis ini menekankan beratnya dosa korupsi. Korupsi dalam Hadis ini dapat dikategorikan sebagai korupsi otogenik, yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri melalui penggelapan kekayaan publik. Dalam kasus ini para koruptor menggelapkan harta rampasan Perang (ghanimah) dan tidak melaporkannya kepada Nabi Saw.
Hadis ini dengan tegas menyatakan bahwa hadiah yang diterima pejabat dari masyarakat dipandang sebagai salah satu bentuk korupsi dan tidak boleh diterima. Yang dimaksud dengan hadiah di sini menurut pensyarah Hadis dan ulama fiqih adalah pemberian yang diterima seorang pejabat atau pegawai (petugas) yang terkait atau patut diduga terkait jabatan. An-Nawawi (w. 676 H/ 1277 M) menyatakan, “dalam Hadis Nabi SAW. menjelaskan, sebab diharamkannya menerima hadiah (pemberian), yaitu keterkaitannya dengan jabatan
Dari Tsa'ban (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah SAW. melaknat pelaku, penerima, dan perantara risywah, yaitu orang yang menjadi penghubung di antara keduanya (HR. Ahmad)
Dalam khasanah hukum Islam, ada keteladanan lain yang layak dicontohkan. Di zaman Nabi, ada wanita ningrat dari bani Makhzum mencuri sehingga orang Quraisy enggan menetapkan hukuman. Nabi mengecam keras. "Orang-orang sebelummu binasa adalah karena jika ada seseorang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membebaskannya, dan jika ada orang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum padanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya."
Jadi berbicara tentang hujjah dalam hal ini umat Islam di Indonesia mempunyai ladasan kuat untuk tidak berbuat korupsi, apa pun bentuk dan jenisnya. Karena dalam agamanya nyata dan jelas bahwa hal itu dilarang, walaupun korupsinya sesuatu yang amat kecil. Kerena akibatnya sangat besar sekali baik di mata manusia atau pun di mata Allah swt.
Dari berbagai riwayat diatas kita dapat mengambil banyak hikmah dan pelajaran dalam berprilaku sebagai seorang muslim. Islam mendidik kaum muslimin dengan pendidikan yang menakjubkan, ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits nabawi yang mulia ini telah menunaikan tugasnya dalam mendidik kaum muslimin. Sehingga membuahkan hasil yang sangat luar biasa, membentuk masyarakat yang bersifat amanah, menghindari sesuatu yang meragukan kehalalannya, merasa benci dan jijik terhadapat tindak korupsi dalam bentuk apapun.
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari dalam kitab sejarahnya, Tarikh At-Thabari, beliau menuliskan, “Ketika kaum muslimin singgah di Madain dan mengumpulkan barang-barang rampasan yang belum dibagi, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang datang menyerahkan haknya kepada pemilik barang. Maka, berkatalah pemilik barang itu dan orang-orang yang bersamanya, “Kami tidak pernah melihat orang seperti ini, tidak ada yang menyamainya dan menandinginya di sisi kami”.
Orang-orang bertanya, “Apakah Anda mengambil sesuatu darinya?” Dia menjawab, “Ingatlah! Demi Allah, seandainya bukan karena Allah niscaya aku tidak akan membawanya kepada Anda?”
Maka mereka mengerti bahwa orang ini adalah orang yang istimewa, lalu mereka bertanya, siapakah Anda? Dia menjawab, “Tidak! Demi Allah aku tidak mau memberitahukan kepada kalian, nanti kalian memujiku, dan aku tidak mau memberitahukan kepada orang lain, nanti mereka menyanjungku. Akan tetapi, aku memuji Allah dan aku ridho dengan pahala-Nya.”
Lalu mereka mengutus seseorang untuk membuntutinya hingga sampai kepada teman-temannya, lalu ia menanyakan kepada mereka tentang orang ini, ternyata dia adalah Amir bin Abdi Qais.”
Hampir-hampir kisah tentang kejujuran dan ketinggian akhlak yang telah dicontohkan oleh generasi terdahulu dianggap dongeng belaka. Pada saat zaman sekarang ini cukup sulit didapati orang-orang seperti itu. Namun, orang-orang yang memiliki kepribadian mulia itu masih ada, dan insya Allah dalam jumlah yang tidak sedikit.
Ustadz Sayyid Qutb mengatakan: “Begitulah seharusnya kehidupan nyata seorang muslim, dan alam akhirat begitu nyata dalam perasaannya, seakan-akan dia melihat wujud dirinya seperti itu di hadapan Rabbnya dan nabinya. Oleh karena itu, ia menjaga dirinya dan merasa takut kalau sampai mengalami keadaan seperti itu. Begitulah rahasia takwa dan rasa takutnya. Maka akhirat dirasakan sebagai sesuatu yang nyata yang ditempuh di dalam hidupnya, bukan sekedar ancaman yang masih jauh masa terjadinya. Dia merasa yakin, tanpa dicampuri keraguan sedikitpun, bahwa setiap orang akan mendapatkan pembalasan secara sempurna dari semua yang dilakukannya, sedang mereka tidak dianiaya sedikitpun.”
Wallahu a’lam bishowab.
-nugroho adinegoro dari berbagai sumber-
No comments:
Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas