Di Bawah Bayang-bayang Pendidikan Pragmatis

بسم الله الرحمن الرحيم

Hari ini, 2 Mei 2017 mungkin kesekian kali negeri ini memperingati hari Pendidikan Nasional. Bapak pendiri pondasi Taman Siswa yang berdirinya ditandai sebagai Hari Pendidikan Nasional itu memang telah lama tiada, namanya tetap harum hingga kini. Kata-kata heroik menggeloranya, "Als ik een Nederlander was" atau “Seandainya Aku Seorang Belanda,” atas nama Soewardi Soerjaningrat itu masih dikenang hingga kini oleh anak bangsa. Kisahnya memang heroik, membangun pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dibalik keterbatasan dan dikriminasi kolonial terhadap anak-anak pribumi. Kini 95 tahun pasca berdiri Taman Siswa, akankah pendidikan Indonesia tetap sama sebagaiamana spirit yang ia agungkan ? Tentunya penting bagi kita kembali merenung dan berpikir apakah pendidikan kita sudah sesuai dengan cita-cita bangsa ini sebagaimana spirit para founding father?

Patung Ki Hajar Dewantara. sumber: dimasstya.blogspot.com


Kini kita terheran-heran melihat pendidikan begitu mahal dan sulit dijangkau. Masuk TK berharga jutaan rupiah. Masuk SD-IT bisa tembus 20 sd 40 juta, SPP SMA Negeri menyentuh 750 rb perbulan, masuk kuliah UKT persemester bisa mencapai 13 juta sampai 25 juta. Bimbel-bimbel bertebaran bak jamur di mana-mana menawarkan paket menggiurkan yang menghisap kantong orangtua. Para mahasiswa diminta lulus cepat, lulus berharap diterima kerja di tempat yang salary bisa memutar modal yang dikeluarkan orangtua. Pendidikan dinikmati selama sekolah hingga bangku kuliah dengan formalitas, yang penting rajin masuk, nilai bagus, lulus cepat kerja. Pendidikan seolah dimaknai sebagai orientasi formil dan bernilai materil daripada sebuah sebuah filosofis dalam membangun manusia dan peradaban. 


Pusat Pendidikan: bukan Nilai Ekonomi tapi Kemanusiaan
Nicolaus Drijarkara (1913-1967), seorang pemikir Indonesia, pernah menyatakan bahwa hakikat dari pendidikan adalah memanusiakan manusia. Artinya, pendidikan membuat manusia semakin utuh sebagai manusia. Melalui pendidikan, manusia semakin mengaktualisasikan potensi-potensi dan dimensi-dimensinya yang kompleks. Katakanlah, seorang yang memiliki kecerdasan bahasa, melalui pendidikan, ia semakin bisa mengaktualisasikan potensi kebahasaaanya. Dimensi-dimensi yang ada dalam diri manusia, baik itu jasmani maupun rohani, hendak dikembangkan melalui pendidikan yang ia maknai.

Namun, nampaknya pandangan mengenai pendidikan di era kini yang sarat muatan ekonomi kapitalis dan neo-liberalis ini telah berubah. Terjadi pergeseran paradigma, pusat atau tolok ukur dalam proses penyelenggaraan pendidikan bukan nilai kemanusiaan tetapi nilai ekonomi. Pendidikan dan ilmu pengetahuan bernilai sejauh ia menghasilkan nilai ekonomi. Pendidikan dan ilmu pengetahuan akhirnya menjadi sebuah komoditas. Konsepsi pendidikan hari ini menjadi sangat pragmatis. Prinsip-prinsip pragmatis menyatakan bahwa segala sesuatu bernilai sejauh memberi konsekuensi dan kegunaan praktis. Pendidikan yang menitikberatkan pada nilai ekonomi merupakan salah satu potret pendidikan yang pragmatis. Nilai kemanusiaan digeser oleh kegunaan praktis nilai ekonomi.

Kita harus sadar bahwa pendidikan pragmatis  mengandung bahaya. Pertama, pendidikan pragmatis telah mereduksi dimensi-dimensi dalam ilmu pengetahuan sekaligus dalam manusia. Ilmu pengetahuan sesungguhnya bukan hanya berkaitan dengan sisi ekonomis tetapi juga sisi teoritis dan reflektif. Bila ilmu pengetahuan dikembangkan seturut logika untung-rugi ekonomi, maka niscaya ilmu pengetahuan justru tidak akan berkembang. Siapa yang dahulu menyangka, penelitian terhadap anatomi burung di Galapagos membawa perubahan besar bagi pandangan terhadap manusia? Mengapa tidak memilih  manusia saja sebagai penelitian karena jelas berkaitan langsung dengan spesies kita? Max Scheler membedakan jenis pengetahuan manusia menjadi pengetahuan instrumental, pengetahuan intelektual dan pengetahuan spiritual.

Pengetahuan instrumental berkaitan dengan keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam kehidupan praktis, bagaimana cara agar mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam penjualan? Pendidikan pragmatis yang mengedepankan nilai ekonomi hanya berhenti pada jenis pengetahuan yang instrumental ini. Pendidikan pragmatis melupakan jenis pengetahuan intelektual dan spiritual. Pengetahuan intelektual sendiri adalah pengetahuan yang mengandalkan aspek kognitif, misalnya, ketika manusia mampu berhitung sekalipun tidak melihat benda konkret sebanyak angka yang kita hitung. Manusia tersebut telah mengaktifkan kemampuan intelektualnya. Semodel Einstein mampu membuat rumus-rumus fisika modern walaupun belum pernah mengaplikasikannya menjadi teknologi. Sedang, pengetahuan spiritual berkaitan dengan pengetahuan tentang keselamatan yang terdapat dalam agama atau keyakinan. Reduksi pada pengetahuan instrumental saja, seperti yang dilakukan pendidikan pragmatis, secara langsung adalah reduksi terhadap nilai-nilai kemanusian. Potensi manusia untuk berpikir (kognitif), berefleksi dan meyakini sesuatu, direduksi hanya pada kemampuan mempertahankan diri (survive). Repotnya adalah bahaya pengetahuan instrumental yang pragmatis dapat meruntuhkan bangunan intelektual dan spiritual yang dibangun oleh nilai-nilai keyakinan manusia, karena orientasi pendidikan pragmatis dapat berujung pada unsur materil yang menjadi obsesi kehidupan manusianya kelak. Padahal para ilmuwan semodel Avicena (Ibnu Sina), Al Farabi dsb, adalah ilmuwan yang tak sekedar mengedepankan langkah-langkah instrumental sebagai sarana praktis bagi kehidupan manusia, tapi juga mengedepankan intelektual dan spiritual sebagai salah satu spirit kemajuan pengembangan pendidikan. Karena intelektualitas dan instrumentalitas pengetahuan tanpa spirit keyakinan bak sesuatu kehilangan ruhnya.

Kedua, bahaya yang ditimbulkan pendidikan pragmatis ialah lahirnya masyarakat ‘kredensial’ seperti dikemukakan oleh Rendall Collins (1979). Masyarakat kredensial ialah masyarakat yang ‘gila ijazah’. Ijazah menjadi tolok ukur pencapaian dalam pendidikan. Mengapa ijazah ‘digilai’? Sebab ijazah adalah tiket emas untuk memasuki dunia kerja dan untuk menaikkan jabatan dalam pekerjaan. Akibatnya,  pendidikan menjadi asal-asalan, asal cepat dapat ijazah. Pandangan ini berlaku baik bagi peserta didik maupun institusi pendidikan. Nilai prestise ini kemudian menjadikan posisi sekolah favorite, ataupun perguruan tinggi seperti ITB, UI, UGM, UNPAD, IPB, dll atau perguruan tinggi luar semodel Harvard, MIT, Cambridge, dll menjadi tujuan pencapaian manusia-manusia era kini dalam pemuasan dirinya mendapatkan ijazah yang memberikan nilai kebanggaan dan peletak jenjang sosial dalam kancah pergaulan manusia. Bahkan, belakangan ini marak ijazah palsu, ijazah yang diperjual-belikan tanpa proses pendidikan sedikit pun. Sungguh menyedihkan, generasi muda yang memiliki beragam bakat dan kemampuan harus dipupus harapannya untuk berkembang karena terjebak menjadi masyarakat yang kredensial.

Institusi Pendidikan Bukanlah Pabrik Pencetak Produk
Institusi pendidikan di dalam sistem masyarakat yang pragmatis-kapitalistis tak ubahnya seperti sebuah pabrik yang mencetak produk. Para sarjana di perguruan tinggi adalah produk-produk dari  ‘Universitas yang berperilaku seperti Pabrik’. Para sarjana setara dengan barang-barang hasil pabrikan seperti sabun, gelas atau sekrup yang kemudian digunakan untuk proses produksi berikutnya. Institusi pendidikan dibuka selebar-lebarnya, penerimaan mahasiswa dibuka dengan biaya yang tak lagi terjangkau, muncul kelas menengah baru yang lulus tak banyak yang menyelesaikan masalah sosial justru menimbulkan problem sosial. Pendidikan hari ini bak puncak gunung es, di satu sisi berupaya mensupply tenaga kerja siap pakai bagi kebutuhan pembangunan, di satu sisi dipaksa diinjeksi agar siap menjadi sekrup-sekrup industri yang tak memanusiakan manusia.
Kita perlu kembali berpikir bahwa sarana pendidikan adalah tempat bertemunya para calon kaum intelektual dalam rangka mencari kebenaran akademik melalui berbagai ilmu, riset, tempat untuk mengembangkan kapasitas diri dan sarana meeting of minds. Jadi, pendidikan tak hanya merujuk pada hal fisik, namun tempat bertemunya perbedaan dan persamaan ide dalam upaya mencari kebenaran ilmiah dalam upaya memanusiakan manusia dan membangun peradaban. Kita tak berharap hakikat pendidikan era kini dimaknai, sebagai gejala menguatnya pengkhianatan intelektual (Benda, 2007) saat para akademisi di sekolah dan kampus lebih mementingkan nilai pragmatis daripada nilai-nilai ilmu pengetahuan yang orientasinya adalah hanya untuk meningkatkan pendapatan.

Semoga Bermanfaat.

***



[tab] [content title="Tentang Penulis"] Nugroho Adinegoro
Penulis adalah Founder Strategic Leadership Forum (BSLF), Chief Operation Officer Semoga Bermanfaat.Pemerhati Sosial Dipatiukur Research Center Unpad (DIRRECT). [/content] [/tab]

No comments:

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas