Bandoeng Laoetan Api

بسم الله الرحمن الرحيم

Monumen Peristiwa Bandung Lautan Api di Lapang Tegalega, Bandung. (sumber: seruni.id)



24 Maret 1946, langit Bandung tak secerah hari ini.
Kepulan asap hitam dan jilatan api merah membara mewarnai jengkal udara di kota sejuk ini.
Ratusan ribu warga Kota Bandung membakar bangunan dan tempat tinggalnya untuk melindungi Kota Bandung dari penjajah. Heroik dan patriotik sangat, membekas dalam benak rakyat, rela kehilangan dan meninggalkan tempat tinggal untuk sebuah martabat dan harga diri bangsa.

71 tahun berselang, Kota Bandung telah lahir kembali dengan membawa banyak perubahan dan inovasi. Sebuah tugu berbentuk kobaran api bertengger kokoh di Lapangan Tegalega, sebagai pengingat untuk mereka yang hidup di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Sebuah Gelora Olahraga dengan ornamen jilatan api berdiri megah di timur kota Bandung, bak jadi pengingat zaman ada masa dimana generasi seterusnya kelak mengingat peristiwa maha dahsyat yang terukir dalam keabadian masyarakat Bandung dan Indonesia akan sebuah harga diri bangsa.

72 tahun lalu, Brigjen McDonald mendarat di Bandung. Membawa ribuan pasukan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) guna merebut Bandung kembali. Intruksinya cuma satu, lucuti seluruh senjata Jepang dari pasukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan kosongkan kawasan Bandung Utara dari orang-orang pribumi paling lambat 29 November 1945. McDonald pun membagi Bandung menjadi dua kawasan, Bandung Utara dan Bandung Selatan.  Jadikan Bandung sebagai markas streategi militer.

Kontan rakyat geram, marah, bergejolak menentang, mengingat Indonesia baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Beberapa bentrokan TKR dengan pasukan NICA terjadi di beberapa titik kota Bandung. Bendera Belanda berhasil dirobek birunya oleh sekumpulan pemuda di atas Bank DENIS (De Erste Nederlandsch Indische Spaarkas) yang kini kokoh berdiri berganti menjadi Bank BJB, dentuman peluru pasukan TKR pun membahana menghiasi sekitaran Post Weg dibilangan Hotel Homman dan Hotel Preanger tempat Brigade McDonald menginap. Titah sang Jendral McDonald yang memerintahkan Bandung harus terbagi antara wilayah Orang Belanda dan pribumi yang terpisahkan oleh rel kereta berujung pada pertempuran Lengkong pada Desember 1945 di sepanjang jembatan baru. Konflik semakin menjadi-jadi dalam beberapa bulan sampai pada akhirnya di putuskan serangan besar-besaran pada Sekutu pada tanggal 24 Maret 1946. Rakyat boleh mengungsi dari Bandung, tapi jangan harap Bandung jatuh ke tangan Sekutu.

Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Gedebage, Bandung

Malam itu, 23 Maret 1946, di kediaman Kolonel Abdul Haris Nasution di bilangan Regenst Weg (sekitaran Jl. Otto Iskandar Dinata dan Jl. Simpang saat ini) sekumpulan tentara TKR dan pejuang Indonesia berkumpul. Rapat berjalan alot, tekanan dan instruksi sekutu agar pribumi keluar dari Bandung berujung pada sebuah keputusan maha berat bagi semua pihak. Keputusan "bumi hangus" Kota Bandung akhirnya disepakati dalam rapat Musyawarah Madjelis Persatoean Perjoeangan Priangan (MP3). Atas usulan Rukana saat itu (Komandan Polisi Militer Bandung) istilah "bumi hangus" digulirkan dan diamini Pak Nas (Kol. A.H. Nasution). Pak Nas kemudian melaporkan strategi "bumi hangus" pada Perdana Menteri Indonesia Sutan Sjahrir. Pak Nas menyampaikan sebagaimana ungkapan Rukana "Mari Kita Bikin Bandoeng Selatan Jadi Lautan Api"

Pembakaran diawali pukul 21.00 di Indisch Restaurant di utara alun-alun Bandung, kini di sekitaran BRI Tower. Ledakan pertama mengiringi susulan ledakan di beberapa titik Kota Bandung. Api menyebar melintang 12 kilometer sepanjang kota Bandung. Titik api terbesar ada di Tegalega dan Cicadas. Api melalap Bandung sekitar 7 jam lamanya. Pak Nas memerintahkan semua penduduk mengungsi ke arah selatan, menuju Ciwidey, Garut hingga Tasikmalaya. Malam itu keheningan Bandung berubah menjadi gelombang jilatan api yang melahap setiap jengkal bangunannya. Bara apinya terlihat di balik Gunung Leutik Pameungpeuk, Garut. Keasrian dan keindahan Bandung sebagaimana ungkapan Brouwer, "Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum" berubah menjadi wahana Lautan Api. Api melahap semua sektor dari timur hingga selatan. Membelah kota menjadi merah membara. Jeritan dibarengi pekikan rakyat, "Merdeka ataoe Mati" menderu dalam setiap teriakan urang Bandung yang tak rela tanahnya dijajah inlander.

Beberapa pertempuran pasukan TKR dengan sekutu berlanjut dibeberapa titik, termasuk di Dayeuhkolot sekitar Bandung Selatan. Gudang amunisi terbesar milik sekutu diledakkan oleh 2 martir berusia 19 tahun, Mohammad Toha dan Muhammad Ramdan. Namanya kini kemudian diabadikan menjadi nama sebuah jalan karena kontribusinya sebagai pahlawan besar Bandung masa itu. Kini Toha diusulkan sebagai pahlawan nasional, walau sulit mencari jejaknya. Tapi tanpanya mungkin cerita Bandung Lautan Api tak akan ada dalam memori kita. Mungkin lagu Halo, Halo Bandung tak kan pernah ada dalam semangat anak-anak Indonesia.

26 Maret 2017, dua hari pasca strategi "bumi hangus" seorang wartawan muda Atje Bastaman memberitakan peristiwa bersejarah itu dalam harian Suara Merdeka dengan judul "Bandoeng Laoetan Api", dalam pengamatannya ia menyaksikan Bandung memerah mulai dari Cicadas sampai dengan Ciroyom. Api Membakar Bandung sepanjang 12 kilometer, dan 200.000 rakyat mengungsi ke arah selatan dan timur dengan membawa harga dirinya.

Salah satu tugu stilasi peristiwa BLA. (sumber: pojoksatu.id)

Kini sejarah panjang Bandung Lautan Api itu terukir dalam saksi bisu kota yang bergerak menjadi kota modern nan eksotik yang semoga tak pernah lupa dengan akarnya. Saksi bisu heroik nan patriotik itu diabadikan dalam stilasi-stilasi (monumen kecil dengan bunga patrakomala diatasnya) yang bisa kita jumpai di 10 titik kota Bandung yakni,
  1. Stilasi di depan kantor berita Domei (sekarang gedung BTPN), Jl. Ir. H. Djuanda-Trunojoyo
  2. Stilasi Gedung Denis (sekarang Bank BJB Braga)
  3. Stilasi depan Gedung Asuransi Jiwasraya
  4. Stilasi Jl. Simpang (tempat pejuang berkumpul melaksanakan rapat "bumi hangus")
  5. Stilasi Jl. Otto Iskandar Di Nata
  6. Stilasi Jl. Dewi Sartika
  7. Stilasi Pertigaan Lengkong
  8. Stilasi Jembatan Baru (pertempuran lengkong)
  9. Stilasi SD Asmi, Jl. Asmi (dulu dipergunakan sebagai klinik dan dapur umum)
  10. Stilasi Jl. Moh Toha (dahulu Radio NIROM)

Hatta, semoga sejarah Bandung Lautan Api mampu kita kenang sebagai sebuah lembaran perjuangan yang selalu menyelipkan semangat, kebanggaan, visi dan harga diri akan bangsa sendiri. Kita perlu merenung bahwa dahulu Bandung dikobarkan demi harga diri, hari ini mari kita jaga demi masa depan kita. Kota kita bukan cuma tanggung jawab pemerintah saja, kota Bandung ini adalah menjadi tanggung jawab kita bersama. Selamat memperingati moment Bandung Lautan Api. Mari bangun Bandung dengan cinta. Semoga Bermanfaat.


[tab] [content title="Tentang Penulis"] Nugroho Adinegoro
Penulis adalah Founder Bandung Strategic Leadership Forum, Chief Operation Officer Semoga Bermanfaat, Penyuka Traveling [/content] [content title="Tulisan Lain Dari Nugroho Adinegoro"]
[/content] [/tab]

No comments:

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas