Pendidikan adalah Koentji

بسم الله الرحمن الرحيم


Setiap tanggal 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional diperingati. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat sebagai salah seorang tokoh perjuangan lewat pendidikan ini kemudian diperingati tanggal lahirnya sebagai momen Pendidikan Nasional. Namun, apalah artinya apabila setiap tahun hanya diperingati saja tanpa menggali kembali, mencari kembali, atau memaknai kembali mengenai pendidikan nasional ini. Misalnya saja bisa dengan mempelajari bagaimana pendidikan di Indonesia sejak masa penjajahan hingga sekarang, atau misalnya membaca tokoh-tokoh bangsa yang begitu konsen terhadap pendidikan, atau bentuk lainnya.

puzzleminds.com


Memperingati Hari Pendidikan Nasional pun perlu dengan banyak-banyak bersyukur dan memaknai kembali apa hasil dari pendidikan yang diterima oleh kita yang mengecap pendidikan, entah hanya sampai SMA / SMK atau hingga perguruan tinggi. Konon, kita -saya dan anda- inilah orang-orang terpelajar yang sudah seharusnya bersikap dan berpikir sebagai seorang terpelajar.

Pada momen Hari Pendidikan Nasional ini, saya malah menjadi berpikir dan membayangkan -berdasarkan buku serta tulisan yang dibaca- akan pendidikan bangsa ini di masa lalu, pun sedikit cerita akan orang-orang terpelajar ini.

Dinukil dari laman tirto.id, pada masa penjajahan Belanda tidak sembarang orang bisa mengecap pendidikan. hanya orang-orang berduit atau mereka yang keturunan para bangsawan atau priyayi sajalah yang dapat bersekolah. Untuk tingkat sekolah dasar pada masa sekarang, ada dua jenis sekolah pada masa itu, yakni Europesche Lager School (ELS) dan Hollandsche Indsiche School (HIS) yang sama-sama memakan waktu tujuh tahun. Nah para pribumi keturunan bangsawan yang biasanya bergeral Raden, Raden Ayu, atau Raden Mas ini dapat bersekolah di ELS, termasuk misalnya Raden Ajeng (sebelum menikah gelarnya Raden Ayu) Kartini, yang dapat mengecap pendidikan di ELS sebelum akhirnya dipingit. Sementara HIS hanya bagi mereka yang mempunyai duit saja, laman tirto.id mengilustrasikan mereka yang bergaji sekitar 100 gulden sebulan saja yang bisa menyekolahkan anaknya. Lalu berapa 1 gulden pada masa itu bila dikonversikan ke dalam rupiah? Saya belum menemukan angka pastinya, tapi yang jelas 1 gulden bisa dipakai makan beberapa kali.

Foto grup, di STOVIA Batavia.
Sumber: wikipedia.org

Selepas dari ELS, pendidikan berlanjut ke Hoogere Burger School (HBS), setingkat sekolah menengah yang lamanya lima tahun. Sementara mereka yang bersekolah di HIS, meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) selama tiga tahun lalu dilanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) juga selama tiga tahun. Lepas dari situ mereka bisa memilih untuk bekerja, entah menjadi pegawai negeri yang mengabdi pada Gubermen alias pemerintah kolonial Belanda, menjadi pegawai swasta, atau masuk militer. Bagi mereka yang ingin lanjut sekolah, bisa melanjutkan ke beberapa sekolah tinggi di Hindia atau pergi sekolah ke Belanda. Beberapa sekolah tinggi di Hindia semisal STOVIA (School Tot Opleiding Van Inlansche Artsen) yang disebut juga sebagai Sekolah Dokter Jawa, STOVIA di kemudian hari lalu menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Selain STOVIA, ada pula sekolah pertanian Landbouw School di Buitenzorg yang kini menjadi Institut Pertanian Bogor. Ada pula sekolah hukum Recht Hoge School (RHS) yang kini menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Lalu ada sekolah teknik Technische Hoge School (THS) yang kini menjadi Institut Teknologi Bandung.

Nah, dari awal pun sudah terlihat betapa ribetnya dan diskriminatifnya pemerintah kolonial masa itu pada pendidikan pribumi. Hanya mereka yang keturunan ningrat atau priyayi yang bisa bersekolah, ataupun mereka yang berduit saja. Diskriminatifnya ini tak serta-merta diperhatikan oleh pribumi yang bersekolah, hanya segelintir yang memikirkan pribumi lainnya, sementara lainnya menjadi pegawai dan hidup aman dan berkecukupan, sementara pribumi lainnya masih tertindas.

Melihat sistem pendidikan pada masa itu, yang terbersit bukanlah kebaikan dari pemerintah kolonial yang membangun sekolah, namun bisa jadi "kebaikan" mereka ini adalah untuk kepentingan pemerintah kolonial sendiri. Kepentingan bagaimana? Begini, penjajahan Belanda ke Hindia dan membangun pemerintahan di sana tentunya membutuhkan berbagai macam infrastruktur, yang tentunya memerlukan tenaga kerja. Tenaga kerja pemerintahan dapat diisi oleh orang Belanda yang didatangkan langsung, namun pekerjaan-pekerjaan kasar cukuplah para pribumi yang melaksanakannya dengan upah ala kadarnya. Malah, tanam paksa atau Cultuurstelsel pada masa Gubernur Jenderal Van den Bosch begitu menderitakan rakyat.

Lama kelamaan, berbagai pekerjaan muncul, jumlah penduduk  bertambah, kebutuhan tenaga kerja pun meningkat, tak hanya jumlah, namun kualitasnya, maka barangkali diperlukan para tenaga kerja pribumi yang lebih berpendidikan, setidaknya dapat baca-tulis-hitung. Lambat-laun tingkat sekolah pun semakin tinggi hingga adanya sekolah tinggi yang telah disebutkan. Pendiriannya pun bukan bertujuan untuk memajukan pribumi, namun lebih untuk kebutuhan pemerintah kolonial sendiri. Membangun sekolah tinggi tentunya memerlukan biaya yang lebih murah daripada terus mendatangkan ahli dari Belanda. Semisal adanya STOVIA, barangkali agar tak perlu susah-susah mendatangkan dokter, lebih baik dokter dari pribumi sendiri yang digaji pemerintah, tentunya gaji pribumi lebih rendah dari gaji orang Belanda di Hindia, begitu pun seterusnya.

Andaikata pemerintah kolonial Belanda ingin memajukan pribumi, tentunya pendidikan untuk pribumi akan lebih dimudahkan, namun nyatanya tidak. Menurut Haji Agus Salim, saat Indonesia merdeka pada 1945, mereka yang bisa baca-tulis hanyalah 10% saja, sementara sisanya tidak bisa baca-tulis. Maka, keberadaan sekolah-sekolah ini seolah seperti pakan bagi ternak yang diperah susunya, mereka yang lulus sekolah ini diharapkan membantu Pemerintah Kolonial Belanda untuk kepentingannya, bukan memajukan pribumi sebangsanya.

Untunglah ada para founding father (dan juga founding mother?) bangsa ini, yang akhirnya memikirkan nasib bangsa dan pribumi lainnya yang begitu tertindas. Lalu bila diperhatikan selain mereka adalah orang-orang yang berpendirian kuat, para pendiri bangsa ini nyatanya adalah orang-orang terpelajar, orang-orang berpendidikan yang memperhatikan nasib manusia sebangsanya, yang begitu menderita. Mereka yang tentunya bersekolah di sekolah bikinan Belanda, baik itu di Hindia atau bersekolah di Belanda, lalu memanfaatkannya untuk memajukan kepentingan bangsanya.

Tirto Adhi Soerjo.
sumber: wikipedia.org

Ir. Soekarno, seorang lulusan HBS Surabaya sebelum akhirnya menamatkan sekolah di THS Bandung. H.O.S Tjokroaminoto, pemimpin Sarikat Islam yang juga Bapak Para Pendiri Bangsa ini adalah lulusan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambetenaren), yakni sekolah pendidikan bagi para calon pegawai bumiputera masa itu. STOVIA, bahkan banyak tokoh yang berasal dari sana, sebut saja dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dr. Soetomo, atau bahkan yang sempat bersekolah di sana, seperti Soewardi  Soerjaningrat alias Ki Hajar Dewantara dan Tirto Adhi Soerjo. Sementara para lulusan Belanda pun tak kalah pentingnya, Moh. Hatta misalnya, menamatkan pendidikannya di Handels Hogeschool yang kini menjadi Universitas Erasmus Rotterdam.

Para terpelajar ini yang kemudian menjadi tonggak berdirinya berbagai organisasi atau usaha untuk memajukan bangsa Indonesia (yang saat itu mungkin belum bernama bangsa Indonesia). Dwitunggal Soekarno-Hatta menjadi proklamator bangsa, di generasi sebelumnya ada H.O.S Tjokroaminoto bersama Hadji Samanhoedi yang memajukan pribumi lewat Sarikat Islam-nya. Kemudian Tiga Serangkai: Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat, serta Ernest Douwes Dekker -meski bukan bangsa Indonesia, namun begitu peduli akan bangsa ini- yang mendirikan Indische Partij sebagai alat perjuangannya.  Tirto Adhi Soerjo, perintis pers ini berjuang dengan Medan Prijaji-nya, yang dibantu orang-orang seperti Marco Kartodikromo.


Raden Ayu Lasminingrat.
sumber: uia.ac.id

Lalu, bagaimana dengan para wanitanya? Seperti yang dikeluhkan dan diperjuangan R.A Kartini, para wanita lebih sedikit lagi jumlahnya yang dapat mengenyam pendidikan. Ia sendiri malah hanya sampai ELS, sebelum akhirnya dipingit menurut kebiasaan masa itu. Maka, ia ingin memperjuangkan pendidikan bagi para wanita, agar tidak mudah tertindas. Bila R.A. Kartini gemilang di Jepara, maka di Tatar Sunda ada Raden Dewi Sartika. Wanita Sunda kelahiran Cicalengka ini sebelumnya aktif mengajar tapi bukan di sekolah resmi. Dikutip dari Pikiran Rakyat, Raden Dewi Sartika lalu disarankan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk menemui Raden Adipati Aria Martanegara sebagai Bupati Bandung masa itu, hingga akhirnya berdirilah Sekolah Istri, lalu menjadi Sekolah Kautamaan Istri pada 1910. Selain itu ada pula Raden Ayu Lasminingrat, wanita asal Garut yang juga berperan penting terhadap perjuangan Raden Dewi Sartika.

Merekalah para terpelajar yang memiliki kesadaran, memiliki kepedulian yang kemudian berupaya untuk memajukan orang sebangsanya, yang sama-sama tertindas oleh penjajahan Belanda untuk dapat merdeka, mengatur bangsanya sendiri.

Maka, marilah belajar dari para pendahulu bangsa ini, bagaimana pendidikan yang diterima dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya memajukan sebangsanya. Pendidikan menjadi salah satu hal yang diperhatikan betul para pendahulu ini, para pejuang wanita seperti Kartini, Dewi Sartika, dan Lasminingrat dengan keinginan mendirikan sekolah bagi wanita, organisasi seperti Muhammadiyah yang digagas K.H. Ahmad Dahlan pun mempunyai sekolah sendiri, begitu pun misalnya Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya. Semuanya menginginkan pendidikan bagi para rakyat, karena dengan pendidikan, kesempatan untuk memajukan diri dan bangsa menjadi lebih besar.

Namun akan keliru apabila pendidikan yang diterima hanya sampai batas mendapatkan ilmu, namun semestinya seperti para pendahulu, mereka yang menerima pendidikan, yang terpelajar harus menjadi manusia yang peka akan orang-orang di sekitarnya. Mereka yang terpelajar ini setidaknya mesti memiliki keinginan untuk berbuat bagi sekitarnya dengan ilmu dan pendidikan yang didapatkannya. Sejatinya pendidikan bukanlah alat atau kebutuhan untuk mendapatkan pekerjaan demi kebutuhan pribadi, namun menjadi alat untuk mawas diri, menjadi alat untuk peduli pada sesama, menjadi alat untuk berbagi kebaikan dan kebermanfaatan bagi sesama, menjadi modal untuk memajukan bangsanya.

Mahsyur terdengar cerita mengenai Jepang, yang setelah diluluhlantakkan oleh bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, para guru lah yang begitu dicari, pendidikan mesti dibangun kembali. Membangun kembali suatu bangsa dengan memperhatikan betul pendidikannya, karena pendidikan menjadi modal yang besar bagi seorang manusia.

Kini di negeri kita adanya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi (dan bisa jadi lebih baik) begitu didukung pemerintah, program beasiswa semacam LPDP yang begitu mahsyur sekarang ini, seharusnya dimanfaatkan betul, tidak untuk kepentingan pribadi, namun tentunya seperti harapan lembaga itu, "...mempersiapkan pemimpin masa depan serta mendorong inovasi bagi Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan." Inilah seharusnya pendidikan, menjadi pendorong inovasi bagi para pemiliknya untuk memajukan bangsanya. Karena di tangan para terpelajarlah pemimpin bangsa akan hadir, menjadi kunci akan majunya bangsa ini, karena, "Pendidikan adalah Koentji!"

"Seorang terpelajar harus sudah adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan."-Pramoedya Ananta Toer-

No comments:

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas