Seri Logical Fallacy: Survivorship Bias

بسم الله الرحمن الرحيم

Ke arah manapun Firman melihat, dia melihat pelaku-pelaku bisnis start-up sukses. Mereka muncul di televisi, radio, halaman depan majalah, acara-acara pentas seni dan situs-situs daring. Mereka semua ada di mana saja, dan mereka semua sukses. Termotivasi oleh kisah sukses mereka, Firman membuat sebuah start-up. Akankah dia sukses dalam mengembangkan start-up-nya? Kemungkinannya hanya berada sedikit di atas nol. Seperti sebagian besar pelaku bisnis start-up lain, kemungkinan besar dia hanya akan menjadi pelaku bisnis yang gagal. Pusara bagi pelaku bisnis ini 10.000 kali lebih besar dibandingkan pebisnis yang sukses dan akhirnya terkenal lalu diliput oleh jurnalis, tetapi tidak ada jurnalis yang tertarik pada mereka yang gagal kecual pelaku bisnis yang dulunya sukses lalu gagal. Sehingga pusara ini terlihat kasat mata bagi orang-orang luar.

Fallacy. sumber: drrichswier.com

Dalam kehidupan sehari-hari, kesuksesan seringkali terlihat lebih jelas dibanding kegagalan, kita sering melebih-lebihkan kemungkinan untuk sukses. Sebagai orang luar, kita (seperti Firman) jatuh pada ilusi ini, dan membuat kesalahan betapa minimnya kemungkinan untuk sukses. Firman, seperti sebagaian besar orang lain, jatuh menjadi korban Survivorship Bias (Bias Kebertahanan).


Umur 20 – 30 tahun di Indonesia adalah umur yang ideal untuk mencari pasangan hidup (menariknya umur tersebut merupakan umur yang “produktif” untuk kasus perceraian), sehingga tidak heran kita akan sering mendapat undangan untuk pernikahan dan pasca pernikahan, kedua pasangan tersebut akan mempublikasikan kemesraan mereka melalui media sosial dengan caption yang membuat kita ingin menyegerakan untuk menikah (Tentu saja penulis kadang terjebak dalam situasi tersebut).


Hal yang perlu disadari adalah sebelum masuk ke dalam tahap pernikahan, akan ada 100 orang yang gagal pada tahap pasca tungangan. Dibelakangnya akan ada 100 orang yang gagal pada tahap pacaran ataupun taaruf. Dibelakangnya akan ada 100 orang yang gagal pada tahap PDKT atau memilih calon lewat proposal. Dibelakangnya ada 100 orang yang bermimpi untuk membangun cinta dengan orang tertentu. Seandainya pasangan yang sudah menikah tersebut memiliki niat untuk memiliki hidup bahagia seperti Habibie dan Ainun, risiko untuk perceraian akan selalu ada. Hal ini bukan hanya terjadi pada kasus di atas tetapi juga pada penulis, fotografer, artis, atlet, presenter televisi, dan lain lain. Media massa tidak tertarik pada sesuatu yang tidak sukses, sehingga untuk terlepas dari sesat pikir ini perlu melakukan “penggalian” pada kegagalan yang pernah terjadi di sekitar kita.


Ambil contoh lain dari pengalaman pribadi penulis, yang mungkin saja dialami oleh pembaca. Saat SMA penulis merupakan siswa dengan prestasi yang kurang menonjol, akan tetapi penulis diterima salah satu institusi tinggi favorit yaitu Universitas Pang Djauhna juga jurusan favorit dibanding rekan -rekan dengan prestasi yang menonjol, sehingga menjadi pembicaraan di sekolah. Hal yang serupa juga terjadi pada media massa yang tidak melaporkan secara proprsional semua pelaku start up. Jumlah buku – buku dan training “Cara Cepat Untuk Sukses” seharusnya membuat skeptis, karena orang gagal tidak menulis buku dan memberikan kuliah tentang kegagalan.


Survivorship Bias dapat berarti: Orang-orang cenderung over optimis dengan kemungkinan sukses. Untuk menjaga dari sesat pikir tersebut perlu dilakukan kunjungan terhadap pusara-pusara kegagalan. Tentu saja hal ini menyedihkan, akan tetapi untuk membuat pandangan dan pikiran tetap jelas, tidak ada salahnya menyeimbangkan suatu pandangan optimis dan pesimis.


Disadur dari : The Art of Thinking Clearly – Rolf Dobelli (2013)


[tab] [content title="Tentang Penulis"] Muhammad Alfy Taufiq
Ikan Salmon Hipster, Pecandu Buku dan Writer Semoga Bermanfaat. [/content] [content title="Tulisan Lain Dari M. Alfy Taufiq"]
[/content] [/tab]

No comments:

Silakan berkomentar, gunakanlah bahasa yang santun dan sopan serta sesuai dengan tulisan di atas